Sipok, Journal Manager, 68-251-1-CE
Sipok, Journal Manager, 68-251-1-CE
TRADISI KADIRAN
lahirlah beberapa perbedaan teori tentang masuknya Islam ke negeri ini. Perbedaan-
perbedaan tersebut meliputi: kapan, dari mana, di mana, dan siapa pembawa Islam
itu. Salah satu teori tentang masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia adalah
melalui pintu sufi, sebagaimana dikemukakan oleh Antony Johns. Menurutnya,
kemungkinan para pedagang memainkan peran penting dalam masuknya Islam, dan
motif yang bersifat ekonomi dan politik sangat sedikit, walaupun itu dan tidak dapat
disangkal memiliki andil besar dalam penyebaran Islam di Nusantara ini. Namun pada
kenyataannya para sufi pengembaralah yang secara luas menjalankan dakwah Islam.
Mereka mengislamkan banyak penduduk di Kepulauan Melayu-Indonesia paling tidak
sejak abad ke 13. Menurut John bahwa masyarakat Islam sudah ada di wilayah ini
setelah kedatangan tasawuf dan keberadaan tulisan-tulisan dan karya-karya sufi dapat
dan mampu mempersatukan umat Islam untuk bangkit setelah jatuhnya Baghdad.
Mereka hijrah melewati batas-batas negeri sendiri ke negeri-negeri lainnya membawa
ajaran Islam, misalnya al-Jîlî dan Ibn „Arabî, begitu juga di Jawa semisal Hamzah
Fansuri dan Abd Rauf Singkel ke Malaka untuk menyiarkan Islam. Lihat Alwi Sihab,
Islam Sufistik (Bandung: Mizan, 2001), 5.
3 Azyumardi Azra, “Toleransi Agama dalam Masyarakat Majemuk Perspektif Muslim
Indonesia” dalam Elza Peldi Taher (ed.), Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai
70 Tahun Djohan Effendi (Jakarta: ICRP, 2009), 22.
4 Dialog atau interaksi Islam dengan kehidupan (tradisi lokal) tersebut sejatinya
merupakan realitas yang terus menerus menyertai agama ini. Karena diakui atau tidak
agama (Islam) tidak lahir dalam dunia hampa budaya. Aktualitas Islam dalam sejarah
itu telah menjadikan Islam tidak dapat dilepaskan dari aspek lokalitas, mulai dari
Arab, Persi, Turki, India, Melayu, termasuk Indonesia, dengan karakteristiknya
masing-masing, tetapi terdapat benang merah yang menyatukan dan memperkokoh
satu sama lain yakni nilai universal (tauhid). Islam sejarah yang beragam tapi satu
ini—dalam istilah Abd A‟la—merupakan penerjemahan Islam universal kedalam
realitas kehidupan umat manusia. Lihat Abd A‟la, “Islam Pribumi: Lokalitas dan
Universalitas Islam dalam Perspektif NU” dalam Taswirul Afkar Edisi no. 14 Tahun
2003, 86.
5 Proses Islamisasi semacam itu tampak sebagaimana dilakukan oleh Wali Songo
52 Norhasan—Pola Ritual
difokuskan pada tiga hal yaitu: pertama, sejarah tarekat Kadiran, kedua,
pola ritual dan keunikan Kadiran, dan ketiga, makna simbolik dan
internalisasi keislaman pada tarekat Kadiran.
6 Shaykh „Abd al-Qâdir al-Jîlânî nama lengkapnya adalah: Shaykh Muh}y al-Dîn Abû
Muh}ammad „Abd al-Qâdir b. Abû S{âlih} Jankî Dûsat b. Mûsâ al-Jûn b. „Abd Allâh b.
„Abd Allâh al-Mah}d} b. H{asan al-Mutana b. Amîr al-Mu‟minîn Abû H{asan b. Amîr al-
Mu‟minîn „Alî b. Abî T{âlib b. „Abd al-Mut}allib b. Hâshim b. „Abd al-Manâf b. Qusay
b. Kilâb b. Murrah b. Ka‟ab b. Luat b. Ghâlib b. Fah}r b. Mâlik b. Madhr b. Nadhar b.
Ma„âd b. Adan al-Quraysh al-„Alawî al-H{asanî al-Jîlî al-H{anbalî.
http://www.tarekatqâdiriyah.wordpress.com. [21/05/2012:11.13], 1. Dijelaskan pula
menurut Huston Smith dalam buku The Concise Encyclopedia of Islam bahwa Shaykh
„Abd al-Qâdir al-Jîlânî adalah peletak dasar-dasar tarekat Qâdirîyah. Tarekat ini adalah
yang pertama lahir dan memiliki bentuk dan karakteristik tersendiri. Di Indonesia
tarekat Qâdirîyah bergabung dengan tarekat Naqsabandîyah, penggabungan kedua
tarekat ini dilakukan oleh tokoh asal Indonesia yaitu Ahmad Khatib b. Abd al-Gaffar
Sambas (w. 1878 M) yang bermukim dan mengaji di Makkah pada pertengahan abad
ke 19 berasal dari Kalimantan Barat.
7 Sayyid Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991),
203-204.
8 Shaykh Abu Bakar atau Kiai Syahrudin adalah murid dari Kiai As‟ad Syamsul Arifin
54 Norhasan—Pola Ritual
Barat dan sebagian di desa Kertegena Laok, Kiai Muhammad Turkhan
Arif, M.Pd.I memimpin tarekat Kadiran pada masyarakat dusun
Gunung desa Kaduara Timur dan sebagian desa Rombasan sebelah
Barat, serta Kiai Syahrul Anam yang biasa memimpin tarekat Kadiran di
desa Rombasan.
Dikisahkan, masyarakat Kaduara Timur mengetahui
kemasyhuran akan kewalian Shaykh „Abd al-Qâdir berdasarkan
informasi dari para guru penyebar tarekat, sebagaimana tersebut di atas.
Salah satu kemasyhurannya adalah kemampuannya menghidupkan
kembali ayam yang sudah dimasak sebagai hidangan. Konon, Shaykh
„Abd al-Qâdir al-Jîlânî pernah melarang para santrinya untuk memakan
makanan lezat termasuk mengkonsumsi makanan dengan daging ayam
dan sebagainya, suatu ketika Beliau memakan daging ayam dan secara
kebetulan diketahui oleh para santrinya sehingga para santri
mengajukan protes kepada beliau: “Wahai Shaykh, engkau melarang
kami memakan makanan yang enak-enak, sedangkan Engkau sendiri
memakannya?” Shaykh „Abd al-Qâdir al-Jîlânî tidak menjawab
pertanyaan para santri, akan tetapi beliau menjawabnya dengan
mengumpulkan tulang belulang ayam yang berserakan kemudian
terucap kata-kata “qûmî bi qudrat Allâh”. Yang terjadi adalah
mendadak tulang-tulang ayam tersebut menjadi hidup kembali seraya
berkokok. Mengetahui peristiwa tersebut para santri tersentak
mendengar bunyi yaitu: “Shaykh Walî Allâh-Shaykh Walî Allâh”, dari
peristiwa tersebut diikuti oleh masyarakat khususnya di desa Kaduara
Timur menjadi tradisi selamatan jîlânîan atau lebih dikenal dengan
istilah “Kadiran”.9
Tarekat Kadiran ini terus berkembang sampai saat ini.
Masyarakat Kaduara Timur tetap melaksanakan ritual tersebut terutama
ketika mereka mempunyai hajat atau keinginan-keinginan tertentu,
misalnya akan memulai usaha baru, ingin lulus dalam ujian, kelancaran
rejeki, dan lain-lain. Walaupun secara formal tidak semua masyarakat
menjadi anggota tarekat Kadiran, akan tetapi kesemua anggota
56 Norhasan—Pola Ritual
a. Mempersiapkan Hidangan
Praktik ritual tarekat Kadiran diawali dengan penyiapan hidangan
yang akan disuguhkan kepada para undangan. Inti dari penyiapan
hidangan ini bahan pokoknya sangat tergantung pada berapa
banyaknya undangan yang akan hadir. Bahan pokok tersebut meliputi:
1. Beras dua gantang (untuk menanak nasi putih secukupnya)
2. Plotan (beras ketan) satu gantang (digunakan untuk menanak nasi
pocong sebanyak tujuh biji.
3. Salabėd atau bersedekah sebanyak “tujuh dirham” (sebanyak tujuh
ribu lima ratus rupiah).
4. Menyembelih ayam jantan 1 (satu) ekor jika undangan yang akan
hadir 7 (tujuh) orang, 2 (dua) ekor ayam jika undangan yang akan
hadir sebanyak 14 (empat belas) orang, 3 (tiga) ekor jika yang akan
hadir sebanyak 21 (duapuluh satu) orang, dan seterusnya dengan
kelipatan satu ayam untuk 7 orang.
Setelah semua bahan pokok dipersiapkan oleh tuan rumah
sebagai pengundang, maka langkah selanjutnya adalah para juru masak
bersiap-siap melaksanakan tugasnya sesuai dengan apa yang telah
direncanakan sebelumnya. Pekerjaan memasak makanan selamatan
Kadiran membutuhkan waktu yang cukup lama, jika mulai memasak
dilakukan ba‟da salat isya‟ maka akan selesai sekitar jam 23.00 WIB atau
lebih, makanan tersebut meliputi; nasi, lauk-pauk (ayam dimasak
memakai santan) atau sering disebut dengan masakan bumbu kuning
atau kare ayam,12 dan nasi ketan telur utuh yang siap saji sebelum acara
dimulai. Acara baru dimulai setelah semua makanan tersebut siap saji.
Terdapat pola kebiasaan yang menarik—menjadi keunikan
tersendiri dalam tradisi Kadiran—ketika juru masak melakukan
pekerjaan untuk mempersiapkan hidangan, yaitu: a. para juru masak
adalah para lelaki, b. selama mengerjakan tugas harus dalam keadaan
suci dari h}adath (berwudlu), c. tidak boleh berbicara atau menggunakan
bahasa isyarat selama proses memasak di dapur, dan d) tidak boleh
mencicipi masakan selama proses memasak. Jika dalam proses
mamasak terjadi kekurangan bahan mentah, juru masak cukup dengan
bahasa isyarat, dengan cara melempar bahan-bahan mentah yang dirasa
12 Kare ayam merupakan ciri khas masakan masyarakat desa Kaduara Timur. Di desa
lain masakan ayam tidak seperti ini (masakan kare) bisa digoreng, bumbu kecap atau
masakan lainnya.
58 Norhasan—Pola Ritual
jamaah dengan pembacaan QS. al-Fâtih}ah [1] pada setiap tawassul
secara bersama-sama.
Sebelum acara dimulai, imam terlebih dahulu membagi tugas
kepada undangan untuk membaca surat-surat al-Qur‟ân di atas.
Kemudian undangan yang lain yang tidak kebagian tugas membaca al-
Qur‟ân, membaca zikir dan salawat jîlânîan dipimpin oleh Imam.
Bacaan zikir atau salawat jîlânîan sebagaimana berikut:
)اللهم صلى وسلم على سيد نا حممد وعلى ال سيد نا حممد (سراتوس كايل
)الصالة والسالم عليك يارسول اهلل (سراتوس كايل
)يا هادى يا عليم يا خبري يا مبني (سراتوس كايل
Setelah bacaan zikir selesai, kemudian diakhiri dengan
pembacaan doa yang dipimpin oleh imam selamatan/rokat, dan para
undangan mengangkat tangan menjawab dengan bacaan Amin. 13
13Bacaan zikir dan doa jîlânîan ini ditulis ulang oleh K. Mohammad Turkhan Arif
bersumber dari Kiai Syamsul Arifin Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiyyah
Sukorejo, Asembagus.
14Pada acara-acara yang lain makanan ini (polotan telur) menjadi makanan yang bersifat
insidentil, tidak menjadi keharusan, ini berbeda dengan acara Kadiran yang menjadi
salah satu syarat dalam ritual tersebut. Setiap acara “Kadiran” dapat dipastikan
makanan ini (nasě plotan-telor) tersajikan.
60 Norhasan—Pola Ritual
penyiraman bibit ini adalah melalui pembacaan salawat Kadiran yang
diyakini akan membawa keberkahan bagi masyarakat setempat.
Kedua adalah Salabed yaitu bersedekah sebesar Rp. 7.500,- (tujuh
ribu lima ratus rupiah) yang dilakukan oleh tuan rumah pengundang
selamatan Kadiran. Salabed itu diberikan kepada semua undangan yang
hadir dan terlibat dalam kegiatan zikir jîlânîan. Salabed merupakan
simbol sedekah, tujuan utama kegiatan selamatan atau rokat Kadiran
adalah sedekah jârîyah sekaligus mensyukuri nikmat-nikmat yang
diperoleh tuan rumah (keluarga) atas usaha yang dilakukan. Sedekah
tidak hanya dalam bentuk makanan yang dihidangkan akan tetapi
sedekah uang.
Salabet Rp. 7.500, memiliki makna simbolik yaitu konsep hidup
gemar bersedekah meskipun apa yang disedekahkan tidak terlalu
banyak sebagaimana yang disyaratkan dalam kegiatan selamatan Kadiran
sebesar Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah). Hal demikian
dilakukan oleh masyarakat desa Kaduara Timur, berangkat dari
pemahaman dan kepercayaan mereka terhadap pelajaran keagamaan
yang diinternalisasi dalam kehidupan mereka dari pemahaman ayat al-
Qur‟ân atau H{adîth salah satunya yaitu: “… Dari Abû Hurayrah ra. ia
berkata: Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang bersedekah senilai
satu butir kurma, dari hasil usaha yang halal, di mana Allah tidak akan
menerima kecuali yang baik (halal), maka sesungguhnya Allah akan
menerima dengan tangan kanan-Nya, kemudian memeliharanya untuk
orang yang bersedekah itu, sebagaimana salah seorang di antara kalian
memelihara anak kuda, sehingga sedekah itu menjadi sebesar gunung.
(HR. Bukhârî Muslim)”.15
Nilai keikhlasan dalam bersedekah adalah patokan utama,
sehingga yang menjadi ukuran dalam bersedekah bukan besar kecilnya
atau bagus tidaknya barang itu tetapi keikhlasannya. Nilai inilah yang
menjadi motivasi bagi masyarakat Kaduara Timur untuk gemar
15Imam Nawawi, Tarjamah Riyadlush Shalihin (I) (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), 529.
Banyak sekali kandungan-kandungan H{adîth Rasulullah yang berhubungan dengan
perintah bersedekah jika terdapat kelebihan perolehan pendapatan, karena bersedekah
akan diyakini sebagai amal ibadah mengandung unsur ekonomi kehidupan
masyarakat. Mereka percaya kelapangan rejeki yang dimiliki dirinya (setiap individu)
Muslim dan ditebarkan kepada masyarakat atau orang lain hakikatnya akan kembali
kepada dirinya sendiri.
16 Para juru masak pada acara Kadiran semuanya laki-laki adalah mengacu pada
keteladanan Shaykh „Abd al-Qâdir al-Jîlânî atas ketaatannya kepada Ibunya, sampai-
sampai memasak pun dikerjakan oleh Beliau. Jika ditarik pada wilayah gender, hal ini
mengisyaratkan tidak adanya bias gender dalam kehidupan (rumah tangga) yang
selama ini dikesankan bahwa pekerjaan domistik hanya dikerjakan oleh kaum ibu.
62 Norhasan—Pola Ritual
makan akan menjadi darah yang nantinya akan berpengaruh terhadap
diri kita, dan menjadi penghalang diterimanya taubat atau ditolaknya
pahala kepada Allah swt.
Para pekerja atau pemasak hidangan selamatan Kadiran juga tidak
diperkenankan untuk bercakap-cakap atau membisu selama memasak
di dapur, simbol ini dimaksudkan agar mereka ketika memasak
hakikatnya: “… tidak berkata-kata atau mengucapkan perkataan-
perkataan kotor sehingga menghilangkan dimensi ibadah …”. Kondisi
para pekerja atau pemasak makanan hidangan selamatan Kadiran dalam
keadaan berwudlu dan tidak bercakap-cakap kotor dan maksiat, serta
tidak mencicipi makanan tersebut memberikan gambaran tentang
kesakralan makna Kadiran yaitu apa yang dilakukan benar-benar
mengikuti karakter Shaykh „Abd al-Qâdir al-Jîlânî sebagai seorang Wali
yang kepribadiannya bersih dari perbuatan maksiat dengan tidak
berkata “kotor”, selalu menjaga wudlu yaitu menjaga kesucian diri dari
kotoran fisik dan hati. Simbol menjaga wudlu dan tidak bercakap-cakap
selama bekerja memasak makanan untuk selamatan Kadiran,
mensyaratkan kepada semua orang yang terlibat selama proses
selamatan Kadiran menjadi ikhtibar berupa pengalaman dan
pengetahuan yang dapat diinternalisasi menjadi pemahaman keagamaan
agar dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari yang lebih luas.
Sebab untuk menjaga diri dari hal-hal yang merusak kesucian hati
dengan mengikuti kegiatan zikir akan mengantarkan seseorang untuk
mendalami dan mengikuti jejak kehidupan kaum sufi. Jika hal itu
dikembalikan kepada tujuan awal tarekat adalah dalam rangka meraih
ridla Allah swt yang hal itu hanya bisa didapat dengan jwa yang bersih
dan penuh ikhlas.
Kelima yaitu pelaksanaan kegiatan selamatan atau rokat Kadiran
dilaksanakan pada malam hari dimulai sekitar jam 21.30 wib atau
bahkan, terkadang, acara tersebut dilaksanakan pada tengah malam di
mulai dari jam 24.00 atau lebih, ini dilakukan semata-mata agar lebih
khusyu‟ dan benar-benar khidmat tidak terganggu oleh kebisingan atau
aktivitas keduniaan, permohonan dan doa yang dilaksanakan pada
malam hari terasa lebih khusyu‟ dan Allah swt. juga menjanjikan doa
makhluk-Nya akan dikabulkan.
Keenam adalah makanan hidangan yang tersisa harus dibawa
pulang, sesuai dengan prinsip-prinsip selamatan Kadiran (sebagaimana
64 Norhasan—Pola Ritual
serba materialistis dan individual. Modernitas telah menjadikan
manusia mengalami kekeringan spritual, mereka terbelenggu dengan
berbagai kecenderungan materialisme dan nihilisme modern.17
Catatan Akhir
Tradisi Kadiran merupakan implementasi dari sikap
keberagamaan masyarakat yang dijalani dalam kehidupan sehari-hari
sebagai rasa syukur mereka terhadap karunia atau nikmat yang
dilimpahkan Allah kepada mereka. Salah satu bentuk rasa syukur itu
adalah dengan cara bersedekah melalui acara kadiran.
Makna dan fungsi salametan Kadiran bagi masyarakat Kaduara
Timur, selain sebagai sarana mempermudah terkabulnya tujuan yang
diinginkan, sisi lain adalah sebagai wadah s}ilat al-rah}îm, berkumpul
bersama sanak saudara (apol kompol mapolong bheleh) yang dalam
kesehariannya mereka jarang berkumpul karena kesibukan masing-
masing, apalagi masyarakat di desa ini terkenal masyarakat migran,
mengais rejeki di daerah lain. Oleh karena itu mereka berupaya secara
maksimal (je-ngajeh) untuk melaksanakan acara Kadiran ini. Dari motivasi
mereka melaksanakan tradisi Kadiran ini menggambarkan bahwa
terdapat upaya masyarakat dalam menyeimbangkan kebutuhan hidup
baik jasmani maupun rohani, baik dalam posisinya sebagai hamba Allah
dengan senantiasa bersyukur atas nikmat, berzikir mengingat Allah,
ataupun sebagai khalîfah fî al-ard} yang selalu berinteraksi dengan
makhluk lainnya. Dengan kekhasan dan keunikannya tradisi Kadiran ini
terus dipertahankan oleh masyarakat dengan cara mewariskan secara
turun-temurun, sehingga tradisi nenek moyang ini tetap eksis hingga
kini.
Daftar Pustaka
A‟la, Abd. “Islam Pribumi: Lokalitas dan Universalitas Islam dalam
Perspektif NU” dalam Taswirul Afkar Edisi no. 14 Tahun 2003.
Arifin, Syamsul (ed). Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat. Yogyakarta:
LKiS, cet. V, 2011.
Azra, Azyumardi. “Toleransi Agama dalam Masyarakat Majemuk
Perspektif Muslim Indonesia” dalam Elza Peldi Taher (ed.).
17Nurcholis Madjid, “Wawasan Intelektual Islam” Khazanah Intelektual Islam (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984), 71.
66 Norhasan—Pola Ritual